Sengatan Literasi Masif: Pemantik Berpikir Kreatif




Oleh: Budi Wahyono,

Pedoman Gerakan Nasional Literasi Bangsa dengan moto “Mari menjadi bangsa pembaca” Bidang Pembelajaran Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Ke-menterian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016, menjadi acuan penting dalam pelaksanaan program literasi. Secara umum literasi dapat diartikan sebagai keberaksaraan, yaitu kemampuan mem-baca dan menulis. Seseorang dikatakan literate apabila memiliki pengetahuan dalam setiap aktivitas yang menuntut fungsi literasi secara efektif dalam masyarakat. Pengetahuan yang diperoleh melalui membaca dan menulis dapat dimanfaatkan bagi diri sendiri dan kemajuan bangsa (Kemendikbud, 2016:8).

Gaung semangat literasi, baik secara struktural maupun fungsional, telah menyebar ke seluruh penjuru tanah air, me-masuki dan menelusup dalam ranah ekologis yang beragam. Fakta empirik – kalau kita mau berpikir dalam kacamata apresiatif – sungguh mengejutkan kita. Berita di media elektronik maupun media cetidak berulang kali menyebut kantong-kantong penyedia minat baca merebak di mana-mana.

Buku tidak hanya bersembunyi rapat di rak-rak perpustakaan yang tertutup pengap. Persebaran tumpukan buku di republik ini sudah mengalami perayaan yang menarik bahkan eksotis. Buku dijajakan di atas perahu yang bergerak dari pulau yang satu me-nuju pulau yang lain, di atas punggung kuda yang konsekuensinya harus naik-turun bukit mengunjungi masyarakat pembacanya, sampai penjual jamu keliling pun tergoda berjuang menjajakan buku bagi calon pembacanya. Realitas ini memberi bukti sangat nyata bahwa semangat membaca telah menjadi ke-butuhan masyarakat tanpa sekat-sekat strata sosial lagi. Revolusi minat baca yang tentu saja cukup membanggakan kita. Inilah sebuah sengatan masif yang harus kita puji bersama. Kita jaga kesinambunganya demi merawat tradisi membaca masyarakat makin menguat.

Dalam jalur pendidikan formal–masih terkait upaya meng-gugah semangat membaca–pelaksanaan literasi di sekolah di-komando dalam durasi waktu lima belas menit. Itu berlangsung pada jam pertama saat peserta didik menikmati proses kegiatan belajar mengajar. Kedisiplinan kewajiban melaksanakan literasi juga terasa mendapatkan pengawalan yang signifikan. Proses akreditasi di sekolah yang mengeksplorasi permasalahan literasi menjadi instrument penting. Fluktuasi pelaksanaan literasi senan-tiasa ditanyakan oleh pihak asesor. Sebuah kompleksitas per-tanyaan yang lebih mengulik dibanding pertanyaan-pertanyaan dalam konteks sebelumnya. Jika sebelumnya pertanyaan sebatas dikaitkan dengan sumber daya perpustakaan sekolah, kini minat baca melebar pada wilayah yang lebih luas.

Menguatkan kondisi perliterasian yang pantas kita hargai ini, beberapa lembaga resmi maupun swasa juga tidak mau kalah. Upaya membangun semangat literasi yang bebas dari gurauan pencitraan bertebaran di mana-mana. Pertanyaan yang kemudan mengusik adalah apakah kegiatan literasi hanya berhenti pada tataran tertinggi bernama membaca efektif, mendeskripsikan se-cara kritis dan membuat ringkasan?

Prosesi sederhana ini bisa segera kita maklumi. Dalam dunia tulis menulis, meskipun para guru kita yang bergelar sarjana pendidikan juga pernah memiliki pengalaman menulis skripsi, bergelut dengan norma-norma tata tulis ilmiah, rasanya sudah cukup puas kalau hasil literasi hanya berhenti pada terminal kreatif membuat ringkasan. Belum banyak gagasan-gagasan men-julang yang patut kita teladani, misalmya peserta didik dimotivasi menghasilkan tulisan yang lebih kreatif, lebih berani memasuk-kan ide-ide cerdas sebagaimana kebutuhan berekspresi mereka. Inilah sebenarnya lahan subur untuk memprovokasi peserta didik dalam menelorkan gagasan-gagasan kreatifnya. Sayang, belum banyak guru yang memiliki kapasitas berpikir demikian. Kapabelitas guru dalam urusan tulis menulis belum maksimal. Mereka tergerak menulis (maaf) baru sebatas kalau ada tugas yang terkait dengan tuntutan akademik atau administrasi.

Contoh yang paling menarik ketika para guru dituntut memublikasikan karya tulis ilmiah di media massa, produktivitas guru meningkat. Koran menjadi pilihan utama untuk menyebarkan karya mereka. Sudah ada beberapa koran yang sanggup menampung tulisan para guru. Bahkan, ada satu edisi yang berkenan memuat lebih lima judul tulisan guru. Pertanyaan yang kemudian menggoda, lebih mengutamakan kuantitas atau kualitaskah karya ilmiah mereka? (Wahyono, 2018).

Sekali lagi, perlu dipertegas bahwa kegiatan yang lebih ber-wibawa dari sengatan masif literasi harus diperjuangkan sampai tataran menulis yang lebih kreatif. Rasanya sudah bertahun-tahun kita sepakat dengan tesis yang awet terekam dalam benak kita bahwa kegiatan menyimak, wicara, membaca dan menulis adalah persoalan yang saling terkait. Tarigan menyebut setiap keterampilan itu erat sekali berhubungan dengan tiga keterampil-an lainnya (2008:1). Rasanya rugi besar kalau tradisi membaca yang terlanjur kuat tidak diimbangi dengan semangat berpikir dan melangkah pada tataran yang lebih mewah, lebih mem-banggakan dengan dibarengi tradisi menulis. Jenis tulisan bisa dibuktikan dalam bentuk opini, wacana, artikel, esai, kolom, sampai pada karya rekaan genre puisi, cerita pendek hingga novel.

Saya pikir tidak ada lagi alasan untuk mengurungkan niat menulis dengan alasan tidak berbakat, apalagi mengaitkan de-ngan disiplin ilmu yang dimiliki. Semestinya, ada tanggung jawab moral untuk menyampaikan gagasan-gagasan brilian yang kreatif sesuai dengan profesi dan keahlian seseorang (Wahyono, 1997:21). Lihat saja Handrawan Nadesul yang berprofesi dokter, peneliti dan pengamat politik Mochtar Pabotinggi, Eko Budihardjo yang arsitek, dan sederet nama lain—yang terus bergerak me-nuliskan persoalan sesuai bidangnya—ternyata juga kampiun menulis puisi. Tesis ini untuk meyakinkan bahwa intensitas me-nulis karya kreatif puisi/cerpen tidak harus lahir dari mereka yang lulusan fakultas sastra.

Direlevansikan dengan budaya lisan nenek moyang kita sebelumnya, alangkah baiknya jika aktivitas menulis disambung dengan semangat kemampuan berbicara. Keduanya memiliki ciri yang sama, yaitu produktif dan ekspresif. Perbedaannya ialah dalam menulis diperlukan penglihatan dan gerak tangan, sedang-kan dalam berbicara diperlukan penglihatan dan pengucapan (Tarigan, 2008:12). Sejalan dengan pemahaman ini, Karlina Leksono menyebut membaca bukan bagian terpisah dari menulis. Keduanya adalah pembentuk jalan ke masa depan. Keduanya merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan penalar-an individual, pemikiran kritis yang independen, dan pem-bangkitan kepekaan terhadap kemanusiaan (Winarno, 2018:72).

Dikaitkan dengan perkembangan budaya politik, kampanye pilpres dan wakil rakyat di media sosial tercemari oleh beragam ujaran kebencian. Hal itu mengindikasikan ketidakmampuan dalam mengontrol kemampuan mengekspresikan kesantunan dalam berbahasa. Jika gejala yang terus merebak ini dibiarkan berlarut-larut, tidak mustahil jika bangsa yang kesohor memiliki budaya adiluhung tinggi ini akan terjerembab menjadi bangsa yang brutal, bangsa yang miskin tatakrama.

Kompleksitas berpikir beragam, baik yang dilampiaskan melalui budaya lisan maupun tulis, sungguh merupakan bukti kuat bahwa sesungguhnya produktivitas dan kreativitas bangsa kita luar biasa. Masalahnya kembali pada bagaimana kedewasaan berpikir kita tidak mudah terseret arus emosional yang menjatuh-kan martabat nalar, tetapi sebaliknya harus mampu mengangkat martabat yang hebat, yang pantas menyelamatkan profil serius kita sebagai bangsa yang berbudaya.

Resensi

Jika lompatan berpikir kreatif seperti yang diobsesikan dalam tulisan pendek ini dinilai terlampau melompati batas kreativitas, tidak ada buruknya kita mencoba membuat ringkasan yang di-lengkapi dengan saran. Saran yang berkualitas, tajam, dan lain dari yang lain akan menjadi parameter kecerdasan berbikir se-orang pembaca.

Linieritas menajamkan daya kritis pembaca yang hanya ber-muara pada tugas meringkas agaknya perlu ditakar ulang. Sudah efektifkah tujuan yang dimaksud? Apa salahnya kita merangkak pada tataran yang lebih kritis bernama latihan membuat resensi? Resensi dapat digolongkan sebagai salah satu cabang seni. Karena nilai aktualitasnya sangat penting, resensi dimuat dalam surat kabar. Resensi menilai kelebihan dan kekurangan karya seni. Dalam penilaian dapat digolongkan ke dalam ketiga kategori, yakni, dasar kesan pribadi terhadap karya seni (impresionionis-tik), dasar standar nilai seni sezaman (yudisial), dan dasar segi teknis artistik jenis seni (teknikal). (Sumardjo:179).

Resensi dapat dijadikan variabel menarik untuk mengukur kecerdasan pembuatnya. Wajar jika pembuat resensi sering me-nunjukkan kemampuan maksimal berpikirnya agar mendapat apresiasi yang berarti. Mereka tidak hanya mampu mengeksplo-rasi totalitas gagasannya, tetapi sudah memiliki pola berpikir dengan batasan-batasan (ruang rubriksasi) yang tersedia. Di

sinilah tantangan mengasyikkan bagi pembuat resensi untuk me-nyiasati, bagaimana ketika resensi memenuhi tuntutan untuk memprioritaskan bagian-bagian yang penting dan perlu di-sampaikan secara efektif untuk konsumsi pembaca.

Pada zaman saya masih di SMA, entah menyesuaikan kuri-kulum yang berlaku atau merupakan inisiasi para guru, peserta didik kelas tiga diharuskan menyelesaikan tugas meringkas lima roman/novel yang pernah dibaca/didiskusikan. Waktu itu belum ada komputer/laptop sehingga konsekuesi logisnya pe-serta didik harus menulis dengan tangan sampai gemetar “se-muten” di kertas folio. Tentu tidak mudah menulis langsung untuk mewujudkannya, tetapi harus melewati beberapa tahap-an/konsep. Bisa dibayangkan, betapa tinggi daya juang yang di-perlukan. Jika satu judul buku selesai dibaca dalam satu minggu, tentu memerlukan durasi waktu berbulan-bulan untuk meram-pungkan lima judul buku. Berbeda dengan peserta didik yang ibaratnya berkubang di perpustakaan sdetiap hari dan terlatih membuat catatan, tugas menggiurkan ini bisa jadi tugas yang dinanti-nantikan.

Sayang, tradisi menumbuhkan kreativitas ini menjadi surut perannya ketika ada para penulis buku terlalu peka untuk mem-bantu sekaligus membunuh peserta didik. Paham peserta didik sangat membutuhkan bantuan dalam berkernyit jidat membuat ringkasan, lalu munculah buku yang berisi ringkasan novel/ro-man karya para pengarang papan atas Indonesia. Seperti peri-bahasa kerbau dicocok hidung, manakala ada tugas dari guru bahasa Indonesia, mereka banyak yang memanfaatkan buku ringkasan tersebut.

Tragedi yang diam-diam membunuh minat baca ini akhirnya menyurutkan niat bagi para guru dalam hal memberi tugas membuat ringkasan. Toh tidak sedikit peserta didik menik-mati jalan pintas dengan mengadaptasi ringkasan yang dimaksud dari buku teks. Mengubah beberapa kalimat agar bahasanya tidak terlalu muluk-muluk alias sesuai dengan kapasistas berpikir kreatif peserta didik.
Tradisi membuat resensi tentu tidak sekadar membuat ringkasan. Penulis resensi harus berani menunjukkan kelebihan dan kekurangan terhadap buku yang dbacanya. Kejelian yang prima ini juga harus diperkuat dengan tawaran saran yang berbasis ilmiah.

Untuk belajar menulis sangat diperlukan pengembangan wawasan dengan banyak membaca buku teori. Kita akan men-dapat paparan pencerahan dari masing-masing penulis lengkap dengan gaya-gaya uniknya. Dari buku yang mengajari bagaimana kita mahir menulis, misalnya, bukankah di pasaran cukup mudah kita temukan beberapa jenis buku yang dimaksud dengan ke-unggulan beragam, seperti karya The Lian Ge, Ismail Maraimin, Slamet Soeseno, hingga Arswendo Atmowiloto. Di wilayah inilah pemilikan modal daya kritis untuk menilai menjadi penting agar tidak terjadi pengulangan pembahasan. Sekaligus menjadi tan-tangan penulis berikutnya untuk menunjukkan keungulan kom-paratif terhadap hasil karyanya.

Menulis resensi bisa menjadi latihan berpikir kreatif yang memberi semangat tinggi. Jika berani menekuni secara serius, berlatih, dan menunjukkan stamina sebagai pembaca sekaligus penulis yang baik, kita tentu akan terbiasa berpikir kritis. Penulis resensi sekelas Untung Wahyudi, Ahmad Wiyono, sampai Sam Edy Yuswanto bisa direntang sebagai contoh. Sam Edy, penulis produktif dari Kebumen lewat media sosial Whats App, dalam sebulan bisa menelorkan resensi sampai belasan judul. Produk-tivitas yang pantas diacungi jempol tentu saja. Dengan rutinitas menulis, mereka bisa mendapatkan honorarium dari media yang memuatnya.

Selain itu, mereka masih juga menerima tali asih berupa imbalan maupun bingkisan buku dari penerbit buku yang menjadi objek resensi. Itulah kegiatan yang tentu saja sangat menggiurkan untuk ditularkan. Bahkan, beberapa penulis yang masih berstatus mahasiswa, jika mencantumkan lembaga/ kampus tempatnya menuntut ilmu, masih ada tambahan honor dari perguruan tinggi yang dimaksudkan.

Begitulah rutinitas dan intensitas membaca dapat dianalogi-kan sebagaimana kita rajin minum ilmu dalam kendi. Supaya tidak penuh, segera tuangkan, dan isi terus agar kita makin memiliki modal yang pantas dituangkan dalam bentuk tulisan. Demi meningkatkan bobot karya tulis yang kita hasilkan.

Rujukan
  1. Sumardjo, Jakob.1990. dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia.
  2. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
  3. Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis sebagai suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Penerbit Angkasa.
  4. Wahyono, Budi. “Merangsang Kemampuan Mengarang Siswa SMK “ dalam Horison, Desember 1977.
  5. —————. “Publikasi Karya Ilmiah Guru”, Solopos, 11 April 2018.
  6. Winarno, Tri. 2018. Guru Generasi Milenial. Sukoharjo: Penerbit Diomedia.
  7. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Pedoman Gerakan Nasional Literasi Bangsa. Jakarta: Bidang Pembelajaran Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
—————————

Budi Wahyono, penulis kelahiran Wonogiri. Ratusan judul tulisannya tersebar di berbagai media cetidak/elektronik. Esainya termuat di Majalah Horison, majalah Asri, Harian Kompas, Suara Karya, Wawasan, Suara Merdeka, Solopos, Kedaulatan Rakyat, Majalah Krida, dll. Kini mengajar di SMK Negeri 7 Semarang.
 
 Sumber: “Menyingkap Kedok Hegemoni  Kuasa Rama”,  Antologi Esai Guru Jawa Tengah (versi pdf)
POSTING PILIHAN

Related

Utama 742255295788372678

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item