Pendidikan pada Zaman Khalifah Fathimiyah




Oleh: Salsabila Mumtaz Mahal

Dinasti Fatimiyah mengambil nama dari Fatimah binti Muhammad SAW dan Ali bin Abi Thalib sebagai menantunya. Berdirinya dinasti ini mulai dari sebuah gerakan di Afrika Utara yang mencapai kekuasaan di bawah pimpinan Ubaidillah al-Mahdi.

Berdirinya dinasti Fathimiyah bermula dari masa menjelang akhir abad ke-10 pada saat kekuasaan dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan kekuasaannya yang luas tidak terkoordinasi dengan baik. Keadaan ini telah membuka peluang bagi dinasti-dinasti kecil di sekitarnya, terutama yang gubenur dan sultannya memiliki tentara sendiri.

Kemajuan dinasti Fathimiyah ini antara lain karena didukung oleh militernya yang kuat, administrasi pemerintahannya yang baik, ilmu penegtahuannya yang berkembang dan ekonominya yang stabil. Namun dalam bidang politik dalam dan luar negri, tampaknya dinasti ini kurang berhasil. Dinasti ini misalnya kurang berhasil menghadapi kelompok Nasrani dan Sunni yang telah mapan di Mesir.

System pendidikan yang terjadi di zaman dinasti Fathimiyah di Mesir ditandai antara lain oleh berkembangnya bahasa dan sastra, ilmu agama dan filsafat, lembaga pendidikan, dan lahirnya para ulama yang memiliki keahlian dalam ilmu agama dan umum.

Perhatian dalam bidang sastra antara lain ditandai oleh lahirnya ulama sastra bernama Abu Tohir An-Nahwi, abu Ya’cub Yusuf bin Ya’kub dan Abu Hasan Ali bin Ibrahim. Selanjutnya dalam bidang kedokteran terdapat nama antara lain Abu Abdullah Muhammad bin Ahamd bin Said An-Namimi yang bertempat tinggal di Baitul Maqdisdan banyak belajar ilmu kedokteran dari seorang pendeta dan menimba ilmu dari ulama di negri lain, sehingga ia mampu meracik obat sendiri.

Dalam bidang ilmu umum antara lain matematika, ilmu falak dan sejarah. Dalam bidang filsafat muncul ikhwan al-shafa. Di antara tokoh filsafat yang terkenal adalah Abu Hatim Al-Razi (322 H) yang terkenal pada masa Khalifah Ubaidillah al-Mahdi, Abu Ubaidillah al-Nafsi (331 H), Abu Hanifah an-Nu’man al-Maghriby (363/973-974 M) dengan karyanya yang berjudul Al-Da’aima al-Islam fi Dzikr al-Halal wa al-Haram wa al-Qadhaya wa al-ahkam.

Perhatian dalam bidang pendidikan dalan dinasti Fathimiyah juga ditandai dengan pembangunan masjid dan istana, madrasah, perpustakaan dan gedung Dar al-Ulum (Rumah Ilmu). Fungsi masjid di zaman Dinasti Fathimiyah bukan hanya sebagai tempat beribadah shalat, meliankan juga tempat   berkumpulnya ulama fikih, khususnya ulama yang menganut mazhab Syi’ah Isma’iliyahyang akan diajarkan kepada masyarakat. Di antara tokohyag membuat buku itu antara lain Ya’cub ibn Killis. Fungsi para hakim dalam perkumpulan ini adalahunuk memutuskan perkara yang timbul dalam proses pembelajaran mazhab Syi’ah tersebut. Dengan demikian,tampak jelas lembaga-lembaga itu menjadi sarana bagi penyelenggaraan ideology mereka.

Demikian pula istana, selain digunakan untuk acara kenegaraan juga untuk kegiatan ilmiah. Khalifah sering mengumpulkan para penulis untuk mengumpulkan buku seperti Al-Qur’an, Al-Hadist, fiih, sastra, hingga ilmu kedokteran. Ia memberikan penghargaan khusus bagi para ilmuwan ini dan menugaskan mereka untuk menjadi imam di masjid istana juga. untuk kegiatan ini khalifah juga menyediakan berbagai fasilitas yang diperlukan, seperti kertas, tinta, dan alat tulis.

Adapun lembaga pendidikan yang berupa madarasah banyak meniru model madrasah nidzaniyah yang berada di Baghdad. Namun isi kurikulum dan berbagai ketentuan lainnya disesuainkan dengan mazhab Syi’ah.

Selanjutnya perpustakaan juga memiliki peranan yang tidak kecil dalam penyebaran Syi’ah Isma’iliyah di masyarakat, disbanding dengan peran dan fungsi masjid. Untuk kepentingan ini, para khalifah dan wazir menggunakan perpustakaan untuk memperbanyak penggunaan bahan-bahan bacaan berupa buku ilmu pengetahuan. Dengan kegiatan ini perpustakaan istana menjadi perpustakaan terbesar pada masa itu.

Adapun warisan dinasti Fathimiyah yang hingga kini masih berdiri kooh adalah Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir. Universitas ini pada mulanya adalah sebuah masjid yang dibangun oleh khalifah Fathimiyah sebagai pusat untuk berdakwah menyebarkan islam. Pada masa ini inventaris pemerintah terhadap Universitas Al-Azhar sangat besar. Misalnya, seorang guru tidak boleh mengajar sebelum mendapat izin dari khalifah. Pengawasan khalifah terhadap Universitas tersebut sangat ketat.

Beberapa pakar yang pernah menjadi guru besr di Univeritas Al-Azhar, antara lain adalah Abu Hasan Ali Bin Nu’man al-Magribi di Jami al-Azhar. Beliau mengajar kitab al-iqtishar, karya ayahnya sendiri. Dengan fungsinya yang demikian itu, Univesitas Al-Azhar menempati posisi yang sangat penting dalam membangun peradaban di Mesir. Dengan usaha yang demikian gigih itu, menumbuhkan kepercayaan masyarakat dalam ilmu pendidikan yang disebar luaskan oleh Universitas Al-Azhar.

System yang digunakan oleh Universitas Al-Azhar adalah system halaqoh. Yaitu sebuah system pengajaran yang tergolang tua dan sederaha. Dengan system ini, seorang guru duduk di bantalan yang agak sedikit lebih tinggi dibandingkan tempat duduk para murid, lalu para murid duduk melingkari sang guru. Halaqoh tersebut banyak julahnya tergantung bidang ilmu yang diajarkan.

Caranya guru membacakan teks kitab, kemudian memberi arti kata-kata perkata teks tersebut, dan dilanjutkan memberi keterangan, ulasan, dan penafsiran atas teks ini. kegiatan tersebut diakhiri dengan menyuruh sang murid membaca teks kitab tersebut, lalu memberikan makna dan penjelasan singkat yang telah diberikan oleh sang guru pada murid, dengan demikian guru dapat memahami, sampai mana pemahaman murid dengan apa yang telah dijelaskan oleh guru. Kegiatan ini berlangsung sesuai hari dan jam yang telah disepakati, dan berakhir ketika kitab telah tamat dibaca.

Karena demikian besar kepedulian khalifah pada pendidikan, hingga mewajibkan guru yang mengajar harus terdaftar dan mendapat izin mengajar dari sang khalifah. Dan halaqoh ini tidak dipungut biaya apapun, semua guru yang mengajar ilmu apapun didasari oleh keikhlasan untuk menyalurkan ilmu dan berdakwah untuk memperluas ilmu pengetahuan. Seperti yang dikatakan oleh baginda Nabi Muhammad SAW “ Tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke lian lahat “. 

Kesimpulan dari apa yang tertera di atas adalah pertama, dinasti Fathimiyah yang berpusat di Mesir, merupakan saingan dari dinasti Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Karena itu dinasti ini mengembangkan misi politik dan dakwah. Yakni, berusaha mempertahankan kekuasaannya dan menjalankan misi dakwahnya.

Kedua, dalam rangka mengimbangi kemajuan dinasti Abbasyiah di Baghdad, dinasti Fathimiyah di Mesir juga mengembangkan pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengembangan ilmu pendidikan. Dalam rangka ini, dinasti Fathimiyah memiliki konstribusi yang lumayan dalam rangka membangun kebudayaan dan peradaban islam. Walaupun dinasti ini berkuasa lebih kurang 260 tahun di Mesir, namun peninggalannya yang berupa Universitas Al-Azahar di Kairo, hingga saat ini masih berdiri kukuh dan masih berkembang, dan termasuk Universitas pertama di dunia.

Ketiga, persaingan dalam bidang politik dari satu segi melemahkan kedaulatan islam. Namun dalan sisi lain telah memajukan ilmu pengetahuan, kebudayaan dan peradaban.

 Salsabila Mumtaz Mahal, Kelas V DIA B / 2 MA TMI Al-Amien Prenduan


POSTING PILIHAN

Related

Utama 118360424510162352

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item