Meremajakan Bahasa Indonesia



Muchlas Jaelani
(Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Berdasar kajian sosio-historis diputuskannya bahasa Indo-nesia-Melayu sebagai bahasa persatuan merupakan upaya pe-negaskan identitas bangsa Indonesia. Dalam Burung-Burung Rantau (1992) YB Mangunwijaya mendedahkan istilah “pasca-Indonesia” untuk memotret kenyataan sosial masyarakat Indo-nesia di kancah dunia. Identitas “pasca-Indonesia” dalam novel itu telah memajang prestasi kultural melalui bahasa. Keter-hubungan antara bahasa dan bangsa ini juga galib disebutkan Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir Hamzah jauh-jauh hari.

Dengan begitu bahasa menempati urutan wahid untuk me-negukuhkan identitas bangsa. Dalam tilikan kritis Amartya Zen (2016) identitas akan melahirkan gelora heroisme dan semangat protektif yang menyala-nyala pada diri dan akal mereka. Iden-titas akan selalu berkelindan dalam setiap pribadi meski kadang dengan desain yang paradoksal: diamini sekaligus dicerca, dipuji tapi dihujat, ditolak tapi diam-diam disukai.

Pada titimangsa tertentu identitas merupakan kebanggaan yang tidak boleh sobek. Sejarah mencatat, identitas bahasa Indo-nesia menjadi marka pemisah antara yang terjajah dan si penjajah. Dari sinilah, genderang perlawanan terhadap Belanda berdentum begitu nyaring. Kaum pribumi pada fase itu telah terkondisikan dalam satu identitas yang sama, yakni bahasa Indonesia. Situasi tersebut sekaligus menjadi jawaban atas politik pecah belah (devide et impera) yang dijalankan Belanda dan kroninya.

Sketsa biografis dan perjalanan bangsa Indonesia yang penuh dengan kobaran semangat patriotis itu digerakkan oleh kaum muda. Itulah masa—yang dalam istilah Takaishi Siraishi di-sebut—”zaman bergerak”. Kaum muda yang “marah” meman-tapkan tekad melalui pledoi heroik: penjajah harus pulang, jika tidak mau, akan dipaksa hingga darah penghabisan. Pada saat yang sama bahasa Indonesia juga menjadi instrumen perlawanan terhadap koloni.

Salah satu sebab digunakannya bahasa Melayu ialah etos revolusioner dan antielitisme sebagai dimensi paling subtil yang terkandung di dalamnya. Atas dasar tersebut Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) menjadi momen patriotik pemuda Indonesia yang menahbiskan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Meski pada saat itu bahasa Belanda secara ajeg digunakan oleh kaum kolonial di mimbar-mimbar akademik, para pemuda dengan tegas menolak menerimanya.

Fenomena Alay

Setelah beberapa dekade berlalu, tentu bahasa Indonesia-Melayu yang menyimpan etos revolusioner tersebut mengalami suatu perubahan. Bahasa memiliki sifat yang dinamis, tidak ke-dap, tidak final. Tergelarnya era globalisasi bukan sekadar men-jadi indikator yang bisa memancing potensi perubahan dalam bidang ekonomi, politik, atau budaya, melainkan juga pada terma bahasa. Memang, globalisasi mensyaratkan sikap reseptif ter-hadap berbagai bahasa yang datang dari luar.

Seturut dengan itu, globalisasi bersanding dengan merebak-nya saluran budaya pop. Budaya pop hakikatnya merupakan implikasi dari budaya industri. Produk budaya pop dilipatganda-kan dan didistribusikan secara masif agar bisa dinikmati oleh



seluruh elemen masyarakat. Dalam budaya pop kuantitas men-jadi tolok ukur. Para pencipta budaya pop cenderung acuh pada kualitas karena target mereka ialah pasar dan kuntungan ekono-mis yang melimpah. Akibatnya, budaya pop sering dianggap sebagai budaya rendahan, remeh, dan kampungan.

Fenomena yang tak bisa dilepaskan dari munculnya budaya pop ialah perilaku alay. Kata alay sebenarnya singkatan dari anak layangan. Istilah ini menunjuk pada gaya hidup yang kampungan dan yang berlebihan. Istilah ini relevan, tidak hanya karena alay begitu dekat dengan kalangan muda, melainkan juga sekaligus menjadi identitas penutur anyar. Fenomena perilaku alay anak muda di Indonesia ini setali tiga uang dengan Jajemon di Filipina, Redneck di Amerika Serikat, Bogan di Australia, Truzzi di Italia, Prool di Jerman, atau Zef di Amerika Latin.

Di Indonesia fenomena itu “meledak” di media sekira tahun 2008 ketika seorang anak SMP berhasil menciptakan anak alay menjadi topik dengan rating tertinggi di twitter. Dalam aspek bahasa, khususnya bahasa tulis alay mengacu pada kegandrung-an remaja menggabungkan huruf besar-huruf kecil, menggabung-kan huruf dengan angka dan simbol, atau menyingkat kata secara berlebihan. Dalam gaya bicara mereka berbicara dengan intonasi dan gaya yang berlebihan (Zulkaidah: 2015).

Setidaknya, dalam kajian lebih detail fenomena tersebut muncul dari fitur SMS (short massage service) atau pesan pendek di telpon genggam. Kenyataan ini masih terus berlangsung hing-ga saat ini. Bahasa alay ini dibuat bisa dengan cara menambahkan huruf yang tidak semestinya atau justru menguranginya, seperti kata aku menjadi aquwh atau aq. Pada sisi yang berbeda bahasa alay juga dapat dilihat dari variasi angka, huruf kecil, dengan huruf kapital yang tidak jelas tujuannya misalnya kata sakit menjadi atit dan cAkiDz atau seperti ungkapan 4ku ciNT4 K4moe maksudnya aku cinta kamu.

Munculnya bahasa alay di kalangan remaja merupakan alarm lunturnya penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar, entah dalam bentuk tulis ataupun tutur. Ironisnya, bahasa seperti ini sangat sulit dibendung mengingat saat ini media sosial begitu memanja tumbuhnya kronik-kronik modern yang kadang nye-leneh, seperti bahasa alay. Di samping itu suburnya bahasa alay juga menjadi penanda munculnya bahasa gaul. Keduanya se-benarnya nyaris berjalin seimbang, hanya model penulisan yang menjadi titik pembeda. Bahasa gaul cenderung lebih tertata. Akan tetapi, dua entitas tersebut termasuk rumpun bahasa slang.

Penyedap Rasa
Bahasa ialah komunikasi sebagaimana kebudayaan juga hidup bersanding dengan kemunikasi. Dengan begitu, bahasa juga bagian penting dari kebudayaan—yang tentu bersifat dinamis dan kontinyu. Bahasa Indonesia berdasarkan kajian historis berkembang sesuai dengan konteks sosial dan politik. Bahkan terkadang, bahasa hadir sebagai instrumen politik pe-nguasa untuk mempertahankan singgasana. Potret bahasa Indo-nesia setelah 88 tahun melambari kehidupan berbangsa dan ber-negara menuai beragam perspektif.

Koheren, pemuda justru masih terkurung dalam krisis iden-titas. Oleh karena itu, mereka membutuhkan pengakuan dan ruang aktualisasi untuk menemukan identitasnya. Munculnya fenomena bahasa gaul terutama dilakukan dari dan oleh kalangan muda. Pada tataran tertentu fenomena tersebut menjadi dasar degradasi semantik kebahasaan. Jika dulu pemuda terlibat dalam pembakuan bahasa Indonesia-Melayu sebagai bahasa persatuan, saat ini mereka berandil besar menyebarluaskan bahasa gaul, bahasa nonkhas yang keluar dari kaidah asal.

Dua fenomena tersebut memiliki konsekuensi logis. Namun, ada kalangan yang menganggap menyebarnya bahasa gaul sebagai kemunduran dan merusak tatanan bahasa yang telah baku. Sebagian yang lain, menerimanya dengan berdasar pada asumsi kreativitas dalam berbahasa.

Tren ragam bahasa gaul seperti jayus, baper, kepo, gajebo atau woles akan sulit dipahami maksudnya. Pada akhir 1970-an, bahasa prokem atau bahasa gaul meledak popularitasnya seiring dengan lahirnya novel Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha. Mun-culnya kalimat Nyokap-bokap lo mau kemokan ‘Ibu bapakmu mau ke mana’ menjadi episentrum lahirnya bahasa gaul saat ini. Sekira akhir 1980-an hingga 1990-an bahasa gaul mulai mengadopsi istilah-istilah yang digunakan waria, semisal ember (memang).

Belakangan ini bahasa gaul ditandai dengan meringkas dan memangkas kata-kata. Seperti gaje (tidak/gak jelas), atau baper (terbawa perasaan). Di samping itu, juga ada yang mencomot bahasa asing dan disingkat, semisal “OTW” singkatan dari on the way ‘di jalan’; kepo singkatan dari kata knowing every particular object ‘orang yang serba ingin tahu detail dari sesuatu’.

Setidaknya, ada beberapa faktor yang menyebabkan bahasa gaul bisa berkembang begitu spektakuler. Pertama, munculnya kelas menengah muda baru. Dalam analisisnya H.W. Dick (1985) kelas menengah muda baru di Indonesia cenderung bertindak sebagai suatu “kelas konsumen”. Jika barang konsumsi tidak terjangkau, penggunaan bahasa merupakan komoditas yang gratis dan bahasalah yang dipungut mereka untuk masuk dalam kelas tersebut. Sementara itu, gaya hidup mereka oleh Dick di-sebut bercorak borjuis.

Mayoritas bahasa gaul digunakan oleh mereka yang telah mampu berjalan sesuai dengan gaya hidup yang sedang berkem-bang. Sangat jarang ada seorang pemuda yang kolot, tradisional, dan kampungan menggunakan bahasa-bahasa gaul dalam ber-komunikasi.

Kedua, pesatnya perkembangan budaya pop. Televisi sebagai sokoguru budaya pop menjadi wahana bersemainya bahasa gaul. Transformasi yang dilakukan televisi mampu menkonstruksi ke-sadaran dan menghipnotis anak muda untuk menggunakan bahasa-bahasa gaul.

Seperti istilah Idi Subandi Ibrahim, seorang pakar ilmu komunikasi, bahasa gaul memang hanya sebatas “penyedap” masa remaja. Akan tetapi, jika terus-menerus dipraktikkan hingga dewasa akan berdampak tidak baik karena bahasa meng-gambarkan paradigma berfikir. Bila tidak ada proteksi yang jelas, dikhawatirkan akan melahirkan generasi yang gampang menye-derhanakan persoalan. Tentu, kita tidak menginginkan mun-culnya ungkapan “berbahasa satu, bahasa bingung”.

Mengingat begitu masifnya perkembangan bahasa slang, yang penting dilakukan oleh kalangan anak muda ialah me-neguhkan kembali bahasa Indonesia-Melayu dan mengguna-kannya secara baik dan benar agar identitas keindonesiaan tak terkoyak. Setidaknya rejuvenasi bahasa Indonesia bisa dilakukan dengan menelaah beberapa hal. Pertama, RUU Kebudayaan yang baru digadang mesti juga menerapkan kaidah-kaidah kebahasaan secara visioner. Draf akademik yang dicantumkan dalam RUU ini tidak secara detail dan komprehensif menelaah problem dan solusi kebahasaan.

Kedua, superioritas budaya pop juga harus dibarengi dengan produksi buku sastra yang berterima. Selain itu, ada penambahan jam ajar bahasa Indonesia di institusi pendidikan. Tentu saja, prinsip melek literasi juga harus disuntikkan pada kalangan muda hari ini. Selain menumbuhkan minat baca, kalangan muda juga harus diinternalisasikan pengajaran kebahasaan yang mak-simal.

Ketiga, meminimalkan kecendrungan penggunaan bahasa asing, terutama dalam pelayanan publik. Masyarakat mesti diajarkan menggunakan bahasa Indonesia yang baik tidak hanya di lembaga formal, tetapi juga pada setiap aktivitasnya. Mengu-kuhkan dan menyemarakkan Taman Baca Masyarakat (TBM) dengan tidak hanya menyediakan bahan baca dan inventarisasi buku, tetapi juga menyelipkan kursus informal tentang kaidah bahasa Indonesia.

Tentu saja usaha ini tidak sekadar usaha sambil lalu yang dikerjakan satu pihak, tetapi juga kontinyu dan konsisten yang disemangati oleh semua pihak, terutama pemerintah dan stake-holder lain. Bahasa Indonesia mesti kembali menjadi bahasa persatuan dan bahasa perlawanan. Tentu saja musuh masyarakat digital tidak lagi gencatan senjata dan pedang, tetapi meneguh-kan prinsip santun dan egaliter yang juga tercantum lekat dalam struktur dan nilai bahasa Indonesia.

Mendudukkan kembali bahasa Indonesia dalam segala laku sosial masyarakat merupakan ikhtiar penting. Dengan demikian, penting bagi kita untuk mengusung, mengaktualisasikan kembali spirit Sumpah Pemuda dengan melakukan sumpah yang kedua: menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan perlawanan.

Daftar Bacaan
  • Dick, H.W. 1985. “The Rise of a Middle Class and the Changing Concep of Equity in Indonesia: An Interpretation” Indonesia 39 April 1985.
  • Faiq, Mohammad Hilmi & Sarie Febriane. 2015. “Berbahasa Satu, Bahasa Bingung….,”. Kompas, 25 Oktober 2015.
  • Heryanto, Ariel. 2014. Identity and Pleasure: The Politics of
  • Indonesian Screen Culture. Singapura: NUS Press.
  • Storey, John. 2006. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop.
  • Yogyakarta: Jalasutra.
  • Zen, Amartya. 2016. Identitas dan Kekerasan. Jakarta: Marjin Kiri.
  • Zulkaidah. 2015. “Fenomena Bahasa Alay”. Riau Pos, 17 Mei 2015.

*********

Pemenang I Lomba Penulisan Esai Bagi Remaja, DIY  2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta (diunduh versi pdf)

POSTING PILIHAN

Related

Utama 3574361276601316501

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item