Kualitas Sastra Digital Diragukan?

Oleh: Pripta Fajri Ramadhanti


Kaum milenial dikenal sebagai generasi gadget yang candu dengan peralatan digital. Hal ini berbanding lurus dengan pesatnya penggunaan internet buah dari perkembangan teknologi digital yang membuat ruang sosialisasi terbuka tak terbatas. Penikmat kemajuan inipun bisa siapa saja: mulai dari anak-anak, pelajar, penulis, mahasiswa, aparatur, bahkan orang tua sekalipun.

Dewasa ini, internet sudah lazim digunakan dengan dalih sebagai sumber pengetahuan juga sebagai hiburan. Dilihat dari segi hiburan, internet membawa sastra yang dikenal mempunyai fungsi sebagai dulce et utile yaitu pemberi kesenangan bagi para penikmatnya dengan cara yang lebih modern.

Aktivitas sastra baru-baru ini menggunakan media sosial atau dunia maya sebagai alat untuk menyebarluaskannya, atau dikenal juga sebagai sastra digital atau cybersastra. Bukankah ini sebuah kemajuan? Melirik sejarah sastra yang bermula dari sastra lisan kemudian mengalami peralihan menjadi sastra tulis, berkembang menjadi sastra cetak, dan sekarang menjadi sastra digital.

Sastra Digital
Sesaknya perjuangan menerbitkan sebuah karya menyebabkan kemunculan sastra digital dianggap sebagai pembawa angin segar bagi para penulis pemula. Kemunculan wattpad, instagram, facebook, situs website, blog merupakan sebagian dari banyaknya media sosial yang digunakan para penulis pemula untuk menerbitkan karyanya. Tidak tanggung-tanggung, media sosial bukan hanya menjangkau para pembaca dalam negeri, tetapi juga para pembaca dari mancanegara.

Seperti halnya aplikasi wattpad yang sedang naik daun dikalangan para pembaca akhir-akhir ini, dan sudah diunduh lebih dari 100 juta kali oleh para pengguna di seluruh dunia. Menyuguhkan ribuan cerita unik dan menarik dengan berbagai genre cerita, menjadikan jawaban dari banyaknya penyuka wattpad. Alasan lain yang mendasar yaitu karena aplikasi ini gratis.

Ingat film “dear Nathan?” film tersebut diangkat dari cerita wattpad yang sudah dibaca puluhan juta kali oleh para pembaca. Hal itulah yang memicu banyaknya penerbit mayor maupun minor lebih memilih menerbitkan novel dari cerita wattpad. Berjejernya novel di toko-toko buku dengan stiker “Telah dibaca sekian juta di wattpad” adalah buktinya. Alasan yang digunakan penerbit cukup masuk akal yaitu dilihat dari banyaknya pembaca atau viewers, comments, votes dan followers membuat penerbit mempunyai jaminan bahwa novel yang akan diterbitkan cukup populer di kalangan pembaca.

Beralih dari wattpad yang menyuguhkan banyak cerita, aplikasi lain seperti “Penyair Terkenal” menyajikan banyak puisi dari para penyair terkenal baik dari dalam negeri maupun luar negeri lengkap dengan biografinya. Sebut saja seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Jalaludin Rumi, Kahlil Gibran dan masih banyak lagi para penyair yang sudah bertengger di aplikasi yang sudah diunduh lebih dari 10.000 kali ini.

Tidak hanya wattpad dan penyair terkenal, instagram pun mempunyai peranan dalam sastra digital. @kongsipuisi merupakan akun dengan 13.500 pengikut yang menyuguhkan karya sastra dari para penulis muda dengan media sosial sebagai alatnya. Pemilihan background yang menarik dengan tambahan penggunaan ilustrasi yang mengagumkan, membuat pembaca seolah-olah mendapat tawaran menggiurkan yang mampu menghilangkan kebosanan.

Kualitas Sastra Digital
Jurang pemisah antara pembaca dan penulis seakan-akan tergerus dengan adanya sastra digital. Mengapresiasi, dan mengkritisi cukup dari kolom komentar yang sudah disediakan dan dapat dilakukan oleh kedua belah pihak untuk saling berkirim salam atau berterus terang. Bukankah kemajuan teknologi memang dapat mempermudah aktivitas manusia? Akan tetapi masalahnya, apakah sastra digital dapat mempertahankan esense sastra sesungguhnya?

Banyak yang meragukan kualitas karya-karya yang berhasil ditelurkan sastra digital. Terkesan belum siap untuk dilahirkan namun dipaksa untuk dipublikasikan. Tidak terlalu pemilih dalam hal penggunaan bahasa, asalkan dapat menyentil hati atau diistilahkan membuat para pembaca baper sudah pasti akan langsung melejit dan viral.

Kemajuan bukan berarti kesempurnaan, termasuk sastra digital. Lihat dari sudut pandang lain, mengapa remaja banyak menjauhi karya yang syarat sastra? Puisi misalnya. Mereka enggan menganalisis sebuah kata hanya untuk mencari maknanya, kasarannya seperti itu.

Lalu bagaimana dengan sastra? Butuh analisis dengan berbagai pendekatan dan sudut pandang yang berbeda untuk mengetahui maknanya. Apakah ini sebuah kemunduran? Jangan anggap sastra digital sebagai kemunduran, karena sejatinya banyak pembaharuan yang menghasilkan kemajuan. Besarnya wadah yang memudahkaan untuk mendapatkan dan menerbitkan karya sastra sudah cukup dibanggakan, tetapi memang tidak benar jika kualitas yang harus dipertaruhkan.  Mengenai kualitas, beri space anak muda untuk mengenal dan belajar sastra dimulai dari kata-kata indah yang puitis dan tentu saja manis.

Pripta Fajri Ramadhanti (Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UMM)

Judul asli: Sastra Digital di Era Milenial, Sumber: bantentribun.id
POSTING PILIHAN

Related

Utama 5284813045643284328

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item