Implementasi Literasi Budaya dan Kewargaan Bagi Kaum Millennial (1)

Pertunjukan bernilai sejarah menjadi acuan memahami literasi budaya
oleh: Anggi Pratiwi, Eflinnida Nurul Komaril Asyarotin

Ketika era millennial, teknologi selalu digunakan untuk mendukung berbagai rutinitas pengisi waktu luang (hiburan), menyelesaikan pekerjaan dan komunikasi efektif dalam menunjang keseharian hidup. Teknologi media informasi selalu tersambung dengan internet untuk menghubungkan dan memenuhi kebutuhan seorang individu ke dunia virtual (maya), misalnya Instagram, Facebook, Youtube, Academia.edu, Tokopedia, Traveloka, dan sebagainya. Hal ini memungkinkan seseorang mendapatkan informasi terbaru tingkat global secara instan dan kemudahan berkomunikasi tanpa batasan jarak.

Walidah (2017) berpendapat bahwa, “Generasi millennial adalah istilah cohort dalam demografi, merupakan kata benda yang berarti pengikut atau kelompok. Saat ini ada empat cohort besar dalam demografi, yaitu Baby Boomer (lahir pada tahun 1946-1964), Gen-X (lahir pada tahun 1965-1980), Millennial (lahir pada tahun 1981-2000), dan Gen-Z (lahir pada tahun 2001-sekarang)”.

Kebiasaan dalam dunia virtual menjadi lekat dengan gaya generasi millennial yang memang terlahir dan tumbuh di era teknologi kepintaran buatan (artificial intelligence). Generasi millennial lebih menyukai lingkungan kerja dengan budaya yang terbuka dan waktu yang fleksibel, di mana hal tersebut membuat perilaku penelusuran informasi bersifat instan.

Saat ini, peningkatan kebutuhan informasi pada masyarakat dipengaruhi kebutuhan informasi sebagai alat untuk memenuhi kepuasan diri, kesenjangan pengetahuan dengan permasalahan yang dihadapi. Era ini, generasi millennial harus mampu beradaptasi untuk terus bertahan hidup. Kemajuan teknologi di bidang komunikasi massa telah menunjang perilaku informasi “budaya global”. Masyarakat secara sadar atau tidak telah melakukan transisi secara acculturation, yaitu proses pembentukan budaya baru melalui pertukaran budaya setelah adanya kontak antar budaya yang diambil dari bangsa lainnya dengan tanpa membuang unsur budaya asli. Kini, kita menghadapi dilema tergusurnya budaya asli karena kekuatan budaya global dari luar telah menimbulkan acculturation negative yang mengambil unsur buruk budaya lain.

Teknologi media massa memberikan kebebasan berbicara yang memengaruhi budaya dalam berperilaku generasi millennial. Informasi diciptakan atau diproduksi individu maupun instansi melalui perantara media sosial (MEDSOS) sehingga informasi tersebut dapat memengaruhi pola berpikir, dan meninggalkan kesan bahkan menumbuhkan simpati seseorang dalam mengambil tindakan sebuah kelompok. Informasi yang bebas diakses menjadikan generasi millennial mengambil kesempatan dalam membuat dan menyebarkan konten digital yang provokatif, misalnya internet meme, false news, hate speech, hoax, dan sebagainya.

Sangat disayangkan apabila informasi yang disampaikan tersebut adalah informasi yang sengaja atau dibuat salah terlebih merupakan sebuah kebohongan (hoax) dengan judul yang sangat provokatif mengiringi pembaca dan penerima opini yang negatif. Opini negatif, fitnah, hate speech beredar untuk Implementasi literasi budaya dan kewargaan sebagai solusi disinformasi pada generasi millennial di Indonesia menyerang seseorang atau kelompok tertentu dengan mengancam dan dapat merugikan pihak yang diberitakan sehingga dapat merusak reputasi. Selain itu, hal ini dapat juga melibatkan orang-orang di sekitarnya agar tercekam karena rasa takut, menimbulkan kepanikan massal hingga kerugian materi akibat perusakan fasilitas umum. Terlebih lagi apabila informasi yang pada awalnya dibuat untuk tujuan baik menjadi sebuah manipulasi alat berita kebohongan (hoax), melalui judul yang sangat provokatif untuk menggiring pembaca dan penerima opini penuh kenegatifan.

Burange and Misalkar (2015) dalam Junaidi (2015) menyatakan bahwa, fenomena disinformasi di masyarakat disebabkan beberapa faktor. Pertama, pengaruh IoT sebagai sumber informasi generasi millennial.

“Internet of Things (IoT) adalah struktur objek yang menyediakan pemilik ke dalam identitas rahasia, dan kemampuan penyaluran data melalui jaringan tanpa bertatap muka dengan orang melainkan langsung ke sumber tujuan, yaitu interaksi manusia ke komputer jarak jauh dalam” (Junaidi, 2015).

Saat ini, IoT telah diterapkan di beberapa bidang, seperti bidang ilmu kesehatan, informatika, geografis dan lain-lain. Infrastruktur internet yang semakin berkembang sehingga bukan hanya smartphone atau komputer saja yang dapat terkoneksi dengan internet. Namun, berbagai macam objek dapat terkoneksi melalui internet. Berbagai macam impelementasi IoT terjadi dalam kehidupan di era millennial ini, contohnya perkembangan sumber informasi adalah sistem penelusuran informasi, keamanan gedung (CCTV), peralatan elektronik  otomatis, e-book/e-journal speech reader, dan seterusnya berbagai macam benda nyata yang tersambung ke jaringan lokal hingga global akan dikontrol menggunakan sensor atau sinyal data.

Kedua, faktor hate speech yang menimbulkan dampak di masyarakat. Febriyani, Sunarto and Husin (2018) berpendapat bahwa, “Ujaran kebencian (hate speech) dapat didefinisikan sebagai ucapan dan/atau tulisan yang dibuat seseorang di muka umum untuk tujuan menyebarkan dan menyulut kebencian sebuah kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda baik karena ras, agama, jenis kelamin, dan suku.” Hate speech adalah sebuah istilah yang berkaitan erat dengan pengaruh sebuah berita pada minoritas dan sekelompok masyarakat, yang menimpa orang tertentu untuk menjerumuskan orang tersebut ke dalam situasi penderitaan mental tanpa ada orang lain yang membantu atau yang peduli. Adapun bentuk dari hate speech antara lain, penghinaan, pencemaran nama baik penistaan, provokasi, penyebaran berita bohong, diskriminasi, konflik sosial, dan penghasutan.

Sarana atau alat yang mudah digunakan sebagai target pelaksanaan hate speech adalah media informasi dan komunikasi massa, di mana respons atau feedbacks pembaca dan sumber informasi berita sulit dilacak secara jelas kebenarannya. Bentuk hate speech yang dilakukan media massa cetak atau elektronik, yaitu: pertama, mudahnya pendistribusian dokumen atau pengaksesan informasi yang memiliki muatan pernyataan kebencian, penghinaan yang memprovokasi massa.

Kedua, penyebaran berita bohong dan penyampaian pendapat ekstremis di muka umum untuk menimbulkan kerusuhan publik dengan menciptakan rasa kebencian dan permusuhan terhadap orang atau kelompok tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan perbedaan golongan.

Fenomena disinformasi akibat perkembangan teknologi yang kontradiktif dan konspiratif ini membuktikan semakin sulitnya prediksi pola pikir dan nilai moral generasi modern. Perbedaan nilai kehidupan kelompok yang dapat menyeret semua golongan masyarakat tidak lagi terelakan hingga meningkat pada taraf permasalahan krisis sikap erosi nilai, erosi moral, erosi norma dan dehumanisasi dalam dunia tanpa batasan.

Maka, seseorang harus mampu memposisikan diri dalam ketahanan mental, disiplin diri yang adaptif, toleransi sosial, dan tatanan nilai dalam menghadapi dampak negatif yang dibawa kemajuan teknologi untuk menghindari krisis tersebut. Martini (2018) menyatakan, “Pembentukan karakter perlu dilakukan karena karakter akan berkaitan dengan moral seseorang yang ada pada diri setiap individu, dalam membangun karakter generasi muda yang tidak terlepas dari budaya yang ada di sekitarnya dan dalam hal ini harus adanya integrasi dari tiga lingkungan yakni keluarga, sekolah dan masyarakat.” Pembentukkan karakter dapat dilakukan di tiga wilayah, yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hal ini melalui dukungan budaya yang dianut tiap individu di tempat tinggalnya sendiri. Generasi millennial dapat membangun karakter yang positif melalui peningkatan moral dalam memaknai hidup.

Adapun dalam praktik pendidikan, arah pelaksanaan disusun ke dalam suatu rancangan yang terorganisir, terstruktur, dan sistematis yang biasa disebut dengan kurikulum pembelajaran. Kurikulum pada umumnya memuat materi pendidikan dan proses pembelajaran sebuah pelaksanaan pendidikan. Materi pendidikan merupakan komponen dalam kurikulum yang berkaitan dengan bahan pada setiap mata pelajaran. Penentuan materi pendidikan dipengaruhi perumusan kebijakan nuansa (tema) pembelajaran pada setiap perubahan bentuk kurikulum, khususnya pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) yang terdapat penyimpangan informasi yang tidak dapat dihindari dengan alasan keamanan negara Indonesia.

Menurut Suastika and Sukadi (2017) menyebutkan bahwa unsur pendidikan budaya dan kewargaan di antaranya identitas nasional, kebangsaan dan kewarganegaraan, hak dan kewajiban warga negara, demokrasi dan masyarakat madani Indonesia, wawasan nusantara, dan hak azasi manusia.

Pertama, identitas nasional merupakan pengetahuan dalam upaya penghayatan pancasila sebagai lambang pemersatu nasional dan pengembangan integrasi budaya negara yang multikultur.

Kedua, kebangsaan dan kewarganegaraan, merupakan pembelajaran akan hakikat bangsa Indonesia (Bhineka Tunggal Ika) dan kritis dalam upaya perwujudan pemersatu dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ketiga, hak dan kewajiban warga negara, merupakan pelaksanaan prinsip hubungan warga negara dan pemerintah negara dalam rangka penanaman nilai moral dan martabat yang bertanggungjawab kepada negara dan Tuhan Yang Mahaesa.

Keempat, demokrasi dan masyarakat madani Indonesia, merupakan penalaran mengenai konsep nilai yang bermakna terhadap perkembangan kehidupan sosial politik demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kelima, wawasan nusantara merupakan penghayatan nilai konsep sumber daya milik nusantara dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Keenam, hak azasi manusia (HAM) merupakan kemampuan menganalisis dalam mencari hakikat makna, pelanggaran dan pengadilan hingga perkembangan pemikiran hak asasi manusia di dunia maupun di Indonesia.

Ketujuh, ketahanan nasional merupakan penghayatan dan menjunjung nilai perwujudan ketahanan negara dari ancaman luar maupun dalam.

Untuk memaksimalkan sebuah pembelajaran dalam pendidikan budaya dan kewargaan, competency literacy peserta didik dapat diintegrasikan secara bersamaan. Sebagai mana pengertian akan literates people yaitu seseorang yang berinformasi/terpelajar (literate) adalah mereka yang telah menyerap pengetahuan (pelajaran) dan mampu menggunakannya sesuai dengan kebutuhan (belajar). Mereka memahami hasil pembelajaran sehingga mengetahui bagaimana harus belajar yang tepat. Generasi millennial membentuk pemahaman atas pengorganisasian informasi menjadi pengetahuan, pemahaman cara pencarian informasi yang valid, dan penggunaan atau emanfaatan informasi sehingga pengetahuan yang dihasilkan dapat memberikan pembelajaran kepada orang lain.

Orang yang terpelajar (literate) adalah individu yang telah siap untuk belajar sepanjang hayat. Mereka membentuk sikap literate dari kebiasaan sehari-hari, yaitu kebijaksanaan dalam pemanfaatan informasi dan kritis dalam pengambilan keputusan (Suwanto, 2015). Jika dikaitkan dengan pendidikan budaya dan kewargaan, orang yang terpelajar (literate) tentunya akan dengan mudah membiasakan diri menerapkan unsur dalam pembelajaran pendidikan budaya dan kewargaan.

Untuk menjadi generasi millennial yang cerdas dan terpelajar (literate), selain dibutuhkan pemahaman pendidikan budaya dan kewargaan, pendidikan karakter juga sangat penting untuk dibentuk. Pendidikan karakter dapat membentuk karakter yang baik dalam kehidupan melalui perilaku diri yang benar dalam membangun hubungan dengan orang lain, masyarakat, dan lingkungan.

Saleh (2016) menjelaskan bahwa, “Penyelenggaraan pendidikan menjadi alat penanaman nilai karakter dan menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam proses pembimbingan serta pembekalan bagi warga negara agar terbentuk kelompok dengan individu yang mandiri, bertanggung jawab, kreatif, berilmu, dan berakhlak mulia.”
****

POSTING PILIHAN

Related

Utama 3791320148956875018

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item