Antologi Puisi "Fragmen Bulan Hijau"
Belajar Menjadi Penyair dari En Hidayat



Oleh: Matroni Musèrang*

Saudara-saudara, ini bukan puisi
Karena aku bukan penyair
Tapi serasa ada sesuatu yang
menggelegak dalam jiwaku
Yang harus ku tulis
Agar diriku tak gundah


En Hidayat (Nurul Hidayat) memang sudah “tiada”, namun karyanya masih ada, dan terus akan ada untuk para pencinta sajak dan puisi. Secara bentuk En Hidayat sudah tak tampak, namun dikedalaman eksistensial ia menyeruak aroma kembang kata yang terus dihirup oleh kita. Begitulah puisi En Hidayat di dalam buku ini, ia akan terus menemani zaman dan waktu untuk terus menciptakan peradaban dan keadaban. Puisi-puisi dalam antologi ini banyak tema yang ia garap, mulai dari kematian, cinta, gerakan, dan kegelisahan eksistensial, namun saya hanya akan memberikan catatan sederhana dan kecil.

(En Hidayat sebagai salah satu wakil ketua PC Nahdlatul Ulama  Sumenep yang antara lain membidangi Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) mempunyai peran penting terhadadp keberadaan lembaga seni budaya ini di tubuh NU. Untuk itu sebagai bentuk apresiasi terhadap perjuangan En Hidayat, maka menjadi penting untuk mengungkap kembali nilai kesejerahan melalui karya puisinya).
Puisi di atas sengaja saya ambil sebagai pembukan pintu untuk menelusuri puisi-puisi En Hidayat di antologi ini. Puisi di atas merupakan cakrawala jiwa yang rendah hati, bagaimana dia mengatakan ini bukan puisi, padahal itu puisi. Sama halnya dia mengatakan aku bukan orang alim, padahal semua orang tahu dia orang alim.

Untuk menjadi penyair memang membutuhkan kerendahan hati, itulah karakter puisi En Hidayat dalam “Suratku Buat Pembaca” di atas, dan ini merupakan puisi pembuka yang mengetahui puisi En Hidayat selanjutnya, sebab puisi di dalam antologi ini banyak membicarakan eksistensi kemanusiaan (bukan manusia). Misalnya Sehelai daun ditiup angin/ Melayang/ Lalu jatuh ke bumi/ Sia-sia. Kedalaman imajinasi ini terbentuk dari akar yang cukup filosofis bagaimana ia bertanya “akankah aku seperti....”.

Daya kritis seperti puisi di atas akhir-akhir ini bisa dikatakan tidak ada, sebab pertanyaan mengapa dan bagaimana secara eksistensial kini sudah mulai pudar oleh tangan lembut android dan game yang pelan-pelan mengelus jiwa-jiwa kemanusiaan kita. Itulah mengapa kita harus memiliki kesadaran yang mendalam bahwa Mautku selalu mengintai/ Di balik degup jantungku/ Aku dapat merasakan bila/ Ia permainkan jantungku/ Tapi orang lain tak tahu! Kata orang Madura tak andik guli enneng, diri ini sebenarnya hina di hadapan sang pemiliki maut.

Kesadaran yang mendalam akan eksistensi diri merupakan syarat utama menjadi penyair. Penyair itu juga manusia yang memiliki kepercayaan akan Tuhan, yang harus shalat dengan khusyuk, melaksanakan puasa, jangan kemudian mengaku-ngaku penyair lantaran hanya bisa menulis puisi di koran dan di buku, jangan, penyair itu identitas suci bagi En Hidayat itulah mengapa dia tidak mau di sebut penyair, karena menjadi penyair itu tidak muda, karena manusia sudah banyak dosa, katanya.

Oleh karenanya, karena manusialah tempat dosa, kesadaran itu tersublim dikedalaman puisi-puisi En-Hidayat, puisi yang lahir dari penyair sebagai bentuk penebusan dosa-dosa, sebab setiap diksi yang lahir dari penyair memiliki pahala dan dosa. Karena diksi yang lahir memiliki akar sejarah tersendiri. Penyair hanya pengisi sandiwara kehidupan Hidup kita ternyata tak lebih/ dari sebuah dongeng/ pengantar kematian/ tak abadi/ Kehidupan kitalah yang Abadi/ Meski dibuka dengan dongeng hidup yang tak abadi. Lantas apa yang di kita banggakan dari seorang penyair jika menulis puisi hanya untuk di sebut penyair?

Kita ada dan hidup hanya menunggu mati, maka di tengah-tengah kemenungguan itulah ada manusia yang menulis puisi, ada yang menulis tafsir, ada yang menulis kitab, ada yang menulis buku, dalam rangka kemenunggu. Kata orang Madura ghu’ ghangghu’ atani, tos ngantos patè Karena sudah jelas apa yang ditunggu, maka tugas penyair adalah menemukan diksi paling suci dan hening agar puisi yang lahir betul-betul zikir mendalam dari seorang penyair atau pencari diksi, sebab menulis puisi bukan pekerjaan, menjadi penyair bukan tujuan kata Ridwan Ilyas. En Hidayat berkata:  Yang kucari ternyata di nadiku. Sebab kita akan giliran Senjaku menunggu, siapa? Mengiringi peti mati/ siapa berangkat? Aku? aku? Kau?.

Kata Acep Zamzam Noor, sebagaimana yang dikutip Marhalim Zaini di Siasat bahwa puncak keberhasilan sastra religius (Islam) adalah bertemunya kebenaran dan religiusitas dengan keindahan. Berbicara religiusitas ini sangat luas dan beragam, namun kata Maulana Rumi agama bukanlah untuk ditapaki sebagai pembenaran bagi fanatisme, sebab agama tak membutuhkan asabiyah (fanatisme kelompok). Akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan berbagai problem eksistensial dalam hal beragama, padahal bagi En Hidayat /Kemana semua pergi/ tak berarti lagi/ Taburan bayangan yang tertinggal/ biarlah/ Larut bersama perjalanan/ ke segala semesta sukma. 

Inklusifitas puisi En Hidayat betul-betul akan menghilangkan individualisme yang membengkak, religiusitas menyusut, kesejahteraan meningkat, semangat surut, kata Glifford Geertz, jika kita betul-betul merasakan puisi-puisi En Hidayat ini. Puisi ini lahir di Surabaya di kota industri, namun kegelisahan eksistensial yang dialami en Hidayat betul-betul menyadarkan kita bahwa ketika kota-kota di bangun tak ada lagi yang harus kita pikirkan kecuali diri. Diri yang abadi. Diri yang hidup di kampung bersama alamiah alam yang segar, sebab sastra lebih menekankan nilai berkampung, dari pada nilai bercerai dan ngartis an sich.

Pesatnya penulis sastra kita, mengandung tanda tanya besar hari ini, sebab perubahan itu terus bergerak, dan berotasi, dengan demikian, perjuangan menjadi penulis sastra di sini penting kemudian, siapa yang yang kuat (istiqamah/konsisten) melawan gejolak, proses dan luka yang datang bertamu, itulah yang akan menjadi pemenang. Pemenang inilah yang akan menjadi monumen yang selalu dilihat, di kenang, di baca, dikritisi, di-dialektika-kan dan perbincangkan oleh semua manusia di dunia.

En Hidayat mengajak kita untuk menjadi manusia monument (penyair monomen) yang tidak lekang oleh waktu. Karya yang kuat pasti menjadi pemenang inilah karya yang melampuai zaman dan perubahan demi perubahan, siapa yang tidak kenal puisi Muhammad Iqbal, Maulana Rumi, Ibn Arabi, al-Farabi, Adonis, dan lainnya. Event sastra adalah momen. Walau pun event merupakan bagian dari proses untuk menjadi pemenang, namun pertanyaannya apakah kita mau untuk “berjuang” memenangkan karya kita sebagai pemenang? Jawabannya ada pada diri kita sendiri sebagai penulis sastra. Apakah kita hanya mau hidup di ruang momen atau mau hidup di ruang monumen? Apakah kita ingin menjadi “penyair momen” atau ingin menjadi “penyair monument”? atau dua-duanya?

Tentu momen dalam hal ini adalah ruang yang terbatas. Penulis sastra yang hidup di ruang momen akan selalu bergantung pada event-event, koran dan jurnal dan ketika menjadi juara dan sudah di muat di koran, jurnal, ia merasa sudah menjadi penyair, ia tidak menyadari bahwa kemenangan dan dimuatnya itu masih di ruang momen, ruang sempit. Penyair yang seperti ini biasanya buru-buru untuk menerbitkan antologi tunggal, karena merasa tulisannya sudah wah. Artinya ia mengukur kualitas karya dari di muat atau tidak di muat. Sungguh naïf.

Sementara monumen dalam hal ini sebuah proses panjang, proses berjalannya kreativitas, berjalannya pembacaan, berjalannya gejolak, berjalannya proses itu sendiri, proses dialektika dengan penyair-penyair lain. Inilah bahan-bahan monumen sastra itu sebenarnya. Bukan intans, bukan kedangkalan, bukan keterburu-buruan, bukan kesombongan, dan bukan yang lainnya. Sebab bahan-bahan “bukan” ini akan cepat lapuk, rapuh dan tergusur-terkubur oleh monumen. 

Penyair moment hanya tahu menulis puisi. Ia hanya tahu bahwa puisilah yang mengantarkan ia sampai diperkampungan kepenyairan. Ia benar, tapi apakah kita tidak menyadari bahwa perkampungan kepenyairan bukanlah perkampungan yang hanya terbatas pada ruang dan waktu. Perkampungan kepenyairan sebuah kampung yang damai, indah, sejuk, teduh, dan inklusif-holistik-universal. Penuh dengan bunga keilmuan yang beragam dan paradigma yang beranting-bercabang. Perkampungan kepenyairan berada di luar ruang dan waktu. Ia terus berdialektika dengan buku-buku dan ayat-ayat semesta. Bergumam dengan kesakitan para petani kampung. Hidup bersama para janda, fakir miskin, akan yatim dan hidup bersama para korban kebiadaban penguasa.

Dan kita akan merasakan puisi-puisi yang lahir dari hal demikian, akan menjadi puisi monument. Puisi yang digandrungi alam semesta bahkan Tuhan pun. Semoga kita mampu menciptakan puisi monument, bukan moment. Itulah sejatinya seorang penyair, ia tidak memandang hina apa pun di dunia ini, sebab tidak ada sesuatu apa pun di dunia yang tidak berguna bagi penyair, daun jatuh saja memiliki makna, apalagi kehidupan dan hidup. 

Semoga catatan sederhana bisa mewakili pembaca dan menjadi peta yang meluruskan, terus terang saya belum pantas memberikan catatan antologi puisi ini, karena saya masih belajar menulis puisi, dan ini masih juah dari sempurna sebagai sebuah catatan kritis akan puisi-puisi.    

Selamat tinggal en Hidayat, selamat datang puisi. puisi-puisimu akan mengirim pahala di kampung barzah, semoga puisi-puisi ini terus mengalir kesejukan menemani kamu di alam sana, semoga. Amin, mari kita akhiri catatan sederhana ini dengan doa en Hidayat:

DOA

Sederhana saja
Aku ingin memeluk dunia
Lalu mati dalam pelukanMu
Amin……


*Pengurus Lesbumi PC NU Sumenep dan Wakil Sekretaris MWC NU Gapura.

 


POSTING PILIHAN

Related

Utama 7742182290180218532

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item