Literasi Budaya dalam Pembelajaran BI di Perguruan Tinggi

Salah kegiatan literasi di IAIN Madura, Pamekasan
Helaluddin  *)

Perkembangan pendidikan dari tahun ke tahun terus bergerak secara dinamis. Berbagai isu global tentang pendidikan berkembang pesat seiring dengan laju perubahan zaman. Hingga pada akhirnya era revolusi industri 4.0 siap memberi tantangan baru bagi dunia pendidikan dibalik derasnya arus informasi dan perubahan teknologi saat ini. Era ini memberikan begitu banyak tantangan yang harus dihadapi oleh peserta didik. Tantangan tersebut tidak hanya terfokus pada kecerdasan kognitif semata tetapi juga kecerdasan lain yang lebih kompleks.

Memperbincangkan tentang pendidikan, tentu tidak terlepas dari faktor individu manusia dan kaitannya dengan lingkungan sosial. Hal terpenting yang menjadi fokus pendidikan saat ini adalah sikap dan kemampuan seseorang dalam menghadapi ragamnya budaya yang ada. Sudah menjadi garisnya jika dunia ini dihuni manusia dengan berbagai latar belakang, suku, agama, warna kulit, pandangan, dan lain-lain. Untuk itulah, pendidikan dipandang penting dalam memberikan pemahaman tentang keberagaman tersebut.
Tulisan bersambung:
  1. Literasi Budaya dalam Pembelajaran BI di Perguruan Tinggi
  2. Budaya Literasi dan Literasi Budaya
  3. Pendidikan Literasi Budaya di Indonesia
  4. Desain Literasi Budaya dalam Pembelajaran BI

Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang tinggi. Berbagai suku, agama, bahasa, dan budaya begitu beragam yang hidup saling berdampingan sejak dari zaman dulu. Namun, ada hal yang harus menjadi perhatian kita tentang keberagaman tersebut. Pada satu sisi, pluralisme di Indonesia memiliki potensi yang luar biasa dalam memperkaya kehidupan bermasyarakat namun di sisi lain juga memiliki potensi sebagai pemicu terjadinya konflik sosial (Supriyatno: 2016).

Berkaca pada kasus yang terjadi di Amerika Serikat, konflik terjadi lebih banyak dilatarbelakangi oleh perbedaan warna kulit, yaitu dominasi orang-orang kulit putih terhadap masyarakat kulit hitam. Pada sejarahnya, masyarakat kulit hitam menjadi masyarakat kelas dua yang tidak mendapatkan prioritas dalam ruang publik di Amerika pada saat itu. Ketimpangan-ketimpangan inilah yang dikampanyekan oleh beberapa tokoh dalam mendapatkan kesetaraan sebagai warga negara Amerika.

Jika ditilik ke dalam negara kita, Indonesia tidak pernah mengalami kejadian konflik-konflik yang disebabkan oleh perbedaan warna kulit. Namun bukan berarti Indonesia bebas dari kondisi seperti itu. Boleh dikatakan justru Indonesia mengalami banyak kejadian yang lebih ironis. Konflik terjadi tidak hanya antar-kelompok tetapi juga sering terjadi dalam satu kelompok. Misalkan, konflik antar-umat Islam dalam menghadapi perbedaan pemahaman agamanya.

Berbagai kasus yang terjadi belakangan ini diyakini sebagai bentuk ketidakpedulian individu terhadap adanya perbedaan yang ada. Mereka cenderung apatis dan menganggap dirinya dan alirannya merupakan satu-satunya yang benar dan terbaik. Dalam hal agama misalnya, semakin banyak penganut suatu agama yang menerapkan teologi ekslusif dalam memahami ajarannya daripada teori inklusif-pluralis (Abidin: 2013). Mereka menganggap agamanya sebagai satu-satunya keyakinan yang benar dan keyakinan orang lain sebagai aliran yang salah dan sesat. Hingga pada akhirnya, mereka cenderung mudah menghujat, menghina, dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji terhadap orang lain atau golongan yang berbeda darinya.

Sisi negatif adanya keberagaman budaya di Indonesia dapat menjadi pemicu konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik vertikal dapat terjadi jika antar-kelompok tidak ada sikap saling menghargai dan menghormati sehingga berpeluang terjadinya praktik hegemoni terhadap kelompok yang lebih kecil tau kelompok minoritas (Rosmawaty: 2015). Lebih lanjut, konflik horizontal dapat terjadi pula jika dalam sebuah interaksi antar-kelompok di mana salah satu kelompok merasa memiliki superioritas terhadap kelompok lainnya. Bahkan kelompok superiotas ini menganggap hanya komunitasnyalah yang paling baik, benar, dan utama sedangkan kelompok yang lain hanyalah pelengkap semata.

Lebih lanjut, dalam memasuki era banjir informasi saat ini, seorang mahasiswa dituntut untuk memiliki kemampuan literasi di berbagai aspek. Literasi tersebut tidak hanya dimaknai sebatas “melek huruf” tetapi juga kemampuan dalam memahami segala hal yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman, istilah literasi berkembang dan meluas ke segala bidang, seperti literasi teknologi, literasi digital, literasi keuangan, literasi kesehatan, dan lain-lain. Menurut World Economic Forum 2015, ada enam jenis literasi dasar atau foundational literacies yang harus dikuasai oleh generasi era revolusi industri 4,0 saat ini, yaitu literasi baca tulis (literasi dasar), literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan.

Berbicara tentang tingkat literasi (keberliterasian) pada suatu bangsa, tidak terlepas dari keterampilan yang dibutuhkan oleh para lulusan pada abad ke-21. Masih menurut pemaparan WEF (World Economic Forum: 2015) tentang New Vision for Education: Unlocking the Potential of Technology bahwa ada tiga jenis keterampilan abad ke-21, yaitu literasi-literasi dasar, kompetensi, dan kualitas karakter. Berbagai kompetensi yang harus dikuasai oleh peserta didik saat ini adalah: (1) critical thinking dan problem-solving, (2) kreativitas, (3) komunikasi, dan

kolaborasi. Kualitas karakter merupakan hal-hal yang harus dimiliki peserta dalam menyikapi perubahan lingkungannya. Kualitas karakter ini mencakup: (1) rasa ingin tahu, (2) inisiatif, (3) ulet atau gigih, (4) kemampuan beradaptasi, (5) kepemimpinan, dan (6) kepedulian sosial dan budaya. Sedangkan salah satu literasi dasar yang harus dimiliki oleh peserta didik adalah literasi budaya. Literasi ini merupakan kemampuan seseorang dalam memahami perbedaan budaya yang ada di sekelilingnya sehingga timbul kepedulian terhadap keanekaragaman tersebut.

Di sisi lain, Hallissy, M., Butler, D., Hurley, J., dan Marshall (2013) mengungkapkan bahwa setiap pekerja atau lulusan perguruan tinggi harus memiliki beberapa kompetensi agar dapat bersaing di dunia kerja. Beberapa kompetensi yang dimaksud adalah memiliki pengetahuan lebih tentang dunia saat ini, berpikir di luar kebiasaan (out of the box), menyikapi dengan cerdas setiap informasi baru, mengembangkan keterampilan good people, mampu menyelesaikan problematika yang kompleks, dan memiliki berbagai keterampilan hidup.

Bila kita cermati lebih mendalam, beberapa tahun belakangan ini semakin meningkat jumlah kasus atau kejadian-kejadian yang didasari oleh ketidakharmonisan dalam bermasyarakat. Perselisihan hingga tindak kekerasan baik di dunia maya maupun dunia nyata mayoritas disebabkan oleh isu-isu tentang tidak adanya sikap toleransi terhadap keberagaman. Dengan berkembangnya media sosial, seolah-olah kebebasan berekspresi yang berlebihan kian tak terkontrol. Berbagai ujaran kebencian dan ujaran perundungan atau bullyng semakin beredar luas. Masyarakat media sosial atau netizen seolah-oleh memiliki hak penuh dalam menghakimi dan menuding pendapat dan pilihan hidup orang lain. Mereka seakan tak mengizinkan orang lain berbeda dengan pilihannya. Indikator ketidaksanggupan individu dalam menghargai perbedaan pilihan maupun pendapat merupakan sisi lain dari kegagalan dalam pendidikan di Indonesia.

Literasi budaya tidak dapat dielakkan begitu saja dalam kehidupan manusia. Adanya keberagaman fisik, adat, agama, bahasa, dan lain-lainnya mengharuskan setiap individu untuk saling memahami. Artinya, keberagaman merupakan hal pasti dalam peradaban manusia sehingga mutlak diperlukan pendidikan tentang literasi budaya. Seharusnya pendidikan berbasis literasi budaya sudah harus ditanamkan semenjak dini bagi peserta didik. Pendidikan tentang budaya ini dimaksudkan agar para peserta didik mampu menempatkan dirinya dalam lingkungan masyarakat yang pluralis.

Dewasa ini, multikultural telah menjadi isu dunia dan merupakan konsekuensi dari globalisasi. Dengan adanya globalisasi, manusia akan menghadapi berbagai perbedaan seperti perbedaan pandangan atau pendapat, nilai, cara berkomunikasi, dan kebiasaan yang lebih kompleks baik secara lokal maupun global. Mengingat pentingnya pendidikan keberagaman budaya, tidak mengherankan jika di beberapa perguruan tinggi luar negeri sudah secara terbuka menyatakan multikultural sebagai identitas pendidikannya. Artinya, kampus tersebut menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang budaya dan negara yang berbeda.

Tantangan kian berat dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) di Kawasan Asia Tenggara. Kebijakan regional ini berpotensi besar menciptakan interaksi antar bangsa-bangsa dengan berbagai kultur dan kebiasaan. Hal ini terjadi karena dalam perdagangan bebas, produk-produk dan masyarakat dari negara lain memiliki peluang besar untuk datang ke negara lain. Kondisi ini tentu harus diantisipasi dengan menyiapkan generasi yang memiliki pengetahuan dan keterampilan hidup, salah satunya dengan literasi budaya. Melek budaya akan mengantarkan individu untuk sukses dalam eksistensinya di era MEA.

Menurut paparan para ahli yang dicantumkan dalam sebuah buku oleh Kementerian Pendidikan Finlandia berjudul Education for Global Responsibility-Finnish Perspectives menyatakan bahwa literasi budaya diartikan sebagai kompetensi interkultural (antar-budaya) yang dalam beberapa referensi memiliki persamaan istilah dengan intercultural awareness (kepedulian antarbudaya), intercultural sensitivity (sensitivitas antarbudaya), intercultural adaptation (adaptasi antarbudaya), dan intercultural effectiveness (keefektifan antarbudaya). Lebih lanjut, mereka menyebut bahwa literasi budaya merupakan sebuah tujuan dari pendidikan global.
Literasi budaya sangat penting peranannya dalam menjaga dan membangun hubungan sosial. Artinya, timbulnya ekslusivitas kelompok dan sikap intoleran dapat dikikis dengan meningkatkan keberliterasian dalam budaya. Merebaknya kasus diskriminasi dan penghinaan terhadap kelompok minoritas merupakan salah satu bentuk tidak adanya literasi budaya yang tertanam dalam tiap-tiap anggota masyarakat. Mengingat pentingnya literasi budaya, perlu dilakukan upaya yang nyata khususnya dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi. Salah satunya dengan mendesain sebuah pembelajaran berbasis literasi budaya dalam Mata Kuliah Bahasa Indonesia.

Tulisan bersambung:
  1. Literasi Budaya dalam Pembelajaran BI di Perguruan Tinggi
  2. Budaya Literasi dan Literasi Budaya
  3. Pendidikan Literasi Budaya di Indonesia
  4. Desain Literasi Budaya dalam Pembelajaran BI
POSTING PILIHAN

Related

Utama 2283684006240397340

Posting Komentar

Komentar dan kritik Anda akan memberi semangat pada penulis untuk lebih kreatif lagi.Komentar akan diposting setelah mendapat persetujuan dari admin.Silakan

emo-but-icon

Baru


Indeks

Memuat…

Idola (Indonesia Layak Anak)

Idola  (Indonesia Layak Anak)
Kerjasama Rumah Literasi Sumenep dengan Pro 1 RRI Sumenep

Kolom Aja

 Lihat semua Kolom Aja >

Kearifan Lokal

 Lihat semua Kearifan Lokal >


 

Jadwal Sholat

item